Berpartisipasi Sejak Dini untuk Mitigasi Dampak Transisi Energi

Jakarta: Pemerintah dapat membangun kemitraan dengan berbagai pihak serta melibatkan masyarakat yang terdampak dalam perencanaan dan pelaksanaan transisi energi untuk meminimalisir risiko sosial dan ekonomi.
 
Hal ini terkait pengakhiran operasi PLTU batu bara perlu diiringi dengan pengelolaan yang tepat terhadap aset-aset PLTU seperti teknologi, infrastruktur, dan pekerjanya. Proses bertransisi energi memerlukan persiapan dan pelaksanaan hingga satu dekade atau lebih yang meliputi fase pra penutupan PLTU, penutupan PLTU, dan transisi di tingkat regional.
 
“Melalui fase prapenutupan PLTU, perlu dipastikan semua pemangku kepentingan terlibat, terutama local stakeholder, pemerintah dan komunitas,” jelas Senior Mining Specialist Bank Dunia Balada Amor, dalam Indonesia Sustainable Energy Week (ISEW) 2022, Rabu, 12 Oktober 2022.





Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?


Berkaca dari pengalaman bertransisi energi perusahaan utilitas di sektor energi di Portugal, EDP Producao, sedang menginisiasi proses transisi dari PLTU mereka di Sines yang ditutup pada 2020 menjadi Green Hydrogen Hub yang direncanakan beroperasi di 2026. Selain itu, EDP juga menekankan kemitraan sebagai hal yang fundamental serta menerapkan program bertransisi energi kepada para pekerjanya. EDP juga menerapkan program yang sama pada pekerja di perusahaan supplier mereka yang juga terdampak dari penutupan PLTU ini.
 
“Faktor kuncinya adalah melibatkan lembaga publik, sosial, swasta dan masyarakat yang sudah ada di sana sehingga tidak tumpang tindih, namun saling melengkapi. Selain itu penting pula bagi lembaga ketenagakerjaan nasional untuk melakukan pencatatan kontak para pekerja yang bekerja di PLTU sehingga dapat menghubungi mereka untuk ikut serta pada program peningkatan kapasitas,” jelas Head of Stakeholder Management of EDP Producao, Jorge Mayer.
 
Dia menambahkan, perlu juga di antaranya untuk memberikan tunjangan kehilangan pekerjaan bagi para karyawan yang sudah bekerja lebih dari dua atau tiga tahun dan memberikan fasilitas transportasi untuk membantu mobilisasi para mantan karyawan ke kantor EDP Producao jika membutuhkan bantuan.
 

Sementara itu, Energy Initiatives Lead, World Economic Forum Justin Roche menyebut tiga aspek penting dalam melakukan transisi energi melalui pengalihan tujuan (repurposing) PLTU yaitu teknologi, pembiayaan, dan berkeadilan. Secara teknologi, pengalihan tujuan PLTU ini akan mendulang manfaat di antaranya lahan, jaringan transmisi, peralatannya dapat digunakan untuk pengembangan energi terbarukan. Selain itu, para pekerjanya dapat dilatih untuk alih profesi ke energi bersih.
 
“Analisis manfaat yang dilakukan di India dari pengalihan tujuan PLTU ini justru lebih besar dari biaya penghentian PLTU. Manfaat langsung terbesar dari repurposing dihasilkan ketika PLTU diganti menjadi kombinasi PLTS, penyimpanan daya baterai (battery storage), dan synchronous condenser yang menggunakan generator dari PLTU yang lama. Selain itu, sebagian dari kebutuhan CAPEX repurposing dapat dipenuhi dari scrap value dari sisa aset PLTU yang lama,” ungkap Roche.
 
Contoh kasus lainnya di Andorra, yakni 1.050 MW PLTU dihentikan dan diganti dengan 235 MW PLTS dan 54 MW battery storage di kawasan operasi PLTU. Pembangunan 1.300 MW PLTS, 90 MW PLTB, dan 105 MW battery storage tambahan juga dilakukan di daerah sekitar PLTU tersebut.
 
Ditinjau dari aspek pembiayaan, Roche memaparkan pemerintah perlu membuat struktur pembiayaan yang inovatif dengan kebijakan dan peraturan yang jelas. Selain itu, sebagian dari struktur keuangan perlu dialokasikan untuk program transisi energi berkeadilan.
 
“Menyelenggarakan dialog sosial yang melibatkan seluruh lapisan masyarakat, tidak hanya pekerja yang terdampak, melainkan juga keluarga, komunitas, pemasok, dan lainnya sehingga seluruh aspirasi terkait transisi energi dapat diakomodasi,” tutur Roche.
 
ISEW terselenggara atas kerja sama Indonesia Clean Energy Forum (ICEF), Institute for Essential Services Reform (IESR), dan Clean, Affordable, Secure Energy for Southeast Asia (CASE). CASE merupakan sebuah program kerja sama antardua negara Indonesia-Jerman (Direktorat Ketenagalistrikan, Telekomunikasi, dan Informatika, Kementerian PPN/Bappenas, dan didanai oleh Kementerian Perekonomian dan Aksi Iklim Pemerintah Federasi Jerman).
 

(AHL)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *