Penelitian UGM: Ada Kemiripan Tata Ruang Batavia di IKN yang Bisa Munculkan Budaya Baru

Jakarta: Keputusan pemerintah memindahkan Ibu Kota Negara (IKN) dari Jakarta ke Kalimantan Timur menuai reaksi beragam dari berbagai kalangan. Pembangunan Indonesia beserta konsekuensinya menjadi diskursus yang tidak pernah habis dibahas.
 
Berbagai sudut pandang menjadi bahan pertimbangan masyarakat menilai proyek tersebut, mulai dari lingkungan, ekonomi, militer, hingga geopolitik. Namun, ada satu aspek yang seringkali terlewat dalam pembahasan yaitu menyangkut aspek budaya.
 
Problem bidang budaya yang mendapat banyak perhatian ialah menyangkut ancaman dan strategi konservasi budaya lokal menghadapi arus pembangunan modern yang dibawa eksistensi IKN. Sedikit penelitian ditemukan yang berfokus pada catatan sejarah dan bukti arkeologis guna membedah potensi perubahan budaya di IKN.





Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?


Berangkat dari peristiwa perpindahan ibu kota yang pernah terjadi pada masa lampau, Tim Program Kreativitas Mahasiswa Bidang Riset Sosial Humaniora (PKM-RSH) Universitas Gadjah Mada (UGM) mengulik pembangunan IKN berpotensi memunculkan budaya baru serta strategi menghadapi hal tersebut. Tim terdiri atas Devina Ocsanda, Candrika Ilham Wijaya, Muhammad Azzam Al Haq (Arkeologi 2019), Julian Dwi Effendi (Sejarah 2020), dan Ludvia (Sejarah 2021).
 
Tim didampingi Fahmi Prihantoro sebagai dosen pembimbing. Penelitian berhasil mengungkap pengaturan tata letak Batavia oleh VOC membagi Batavia menjadi wilayah dalam tembok kota yang lebih eksklusif (dihuni oleh orang Eropa) dan wilayah luar tembok kota yang lebih akomodatif (ditempati oleh orang Jawa, Tionghoa, dan suku lainnya).
 
Pemisahan tersebut mendorong penduduk dalam tembok menjadi lebih membatasi diri dan memiliki kebudayaan material yang menonjolkan kemegahan. Sedangkan, penduduk luar tembok menjadi lebih membaur dan tidak memiliki kebudayaan material yang ajeg. 
 
Segregasi ruang tersebut lambat laun menimbulkan stratifikasi sosial berdasarkan agama dan ras penduduk yang pada gilirannya juga memicu peleburan berbagai kebudayaan masyarakat di luar tembok ke dalam sebuah melting pot. “Peleburan kebudayaan tersebut pada akhirnya melahirkan sebuah entitas budaya besar yang baru, yakni Betawi,” ujar Devina dikutip dari laman ugm.ac.id, Jumat, 30 September 2022. 
 
Devina menuturkan apabila diperhatikan dengan saksama terdapat kemiripan antara tata ruang Batavia oleh VOC dengan rencana tata ruang IKN yang sudah dirilis pemerintah. IKN terbagi menjadi dua area utama, yakni wilayah inti dengan perencanaan ruang dan arsitektur lebih rinci dan wilayah pengembangan (periferi) dengan perencanaan ruang–apalagi arsitektur–yang masih minim. 
 
Pada pembagian ruang tersebut dapat disandingkan antara Batavia yang lebih tertata di bagian dalam tembok dan lebih fleksibel pada bagian luar tembok. Sementara itu, tradisi budaya masyarakat lokal yang sudah bertempat di kawasan IKN juga patut diperhatikan. 
 
Candrika Ilham Wijaya menyebut budaya merupakan sesuatu yang dinamis dan senantiasa menawarkan terbentuknya hal baru dari waktu ke waktu. Perpindahan Ibu Kota VOC dari Ambon ke Batavia (Jakarta) menggambarkan dengan baik hal tersebut. 
 
“Suku Betawi yang selama ini dianggap sebagai penghuni asli Jakarta sesungguhnya merupakan hasil percampuran berbagai budaya yang hidup di Batavia. Menarik dilihat apakah hal serupa juga berpotensi terjadi di IKN nanti,” ucap Candrika. 
 
Dia menyampaikan proyek pembangunan IKN sedikit banyak akan berdampak pada kebudayaan masyarakat lokal. Pertemuan antara kebudayaan lokal di lokasi IKN dan kebudayaan yang dibawa oleh pendatang dari berbagai latar belakang berpotensi besar terjadi di wilayah periferi yang penataan ruangnya bersifat lebih dinamis dan fleksibel. 
 
Kebijakan yang mampu mengakomodasi kepentingan sosial-budaya dari berbagai kelompok masyarakat yang akan mendiami IKN, kata Candrika, menjadi hal yang sangat diperlukan. Penataan ruang yang memadai serta regulasi yang mengatur penghunian IKN perlu dipersiapkan dengan matang agar tempat tersebut dapat menjadi hunian yang nyaman. 
 
Sebab, pemindahan ibu kota tidak hanya berupa perpindahan fisik dan infrastruktur saja. Tapi, juga melibatkan potensi perpindahan budaya dari berbagai kelompok di Indonesia. 
 
“Penelitian mengenai Batavia yang dikomparasikan terhadap proyeksi IKN di Tahun 2024 mendatang diharapkan dapat dikembangkan lebih lanjut dan menghasilkan strategi mitigasi yang memadai mengenai bencana sosial berupa konflik horizontal yang berpotensi terjadi di IKN,” papar Candrika.   
 

 

(REN)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *