#IwanBuleOut – Medcom.id

“INI semua saya lakukan dalam kondisi sehat walafiat. Bertanggungjawablah kalian. Saya mundur bukan tidak bertanggung jawab, tapi karena saya bertanggung jawab.’’ Kalimat itu disampaikan oleh Edy Rahmayadi di depan Kongres PSSI di Bali, 20 Januari 2019. Edy semestinya memberikan sambutan, tetapi dia malah mengumumkan pengunduran dirinya.
 
Edy ialah Ketua Umum PSSI 2016-2020. Dia memilih mengakhiri masa jabatannya lebih cepat. Tidak ada alasan pasti yang dia ucapkan, tapi ketika itu sepak bola tengah dihantam badai pengaturan skor. Ada pula yang menduga, Edy mundur karena keinginannya sebagai Gubernur Sumatra Utara telah tercapai.
 
Azwar Anas ialah Ketua Umum PSSI 1991-1998. Dia mundur sebagai bentuk pertanggungjawaban atas skandal sepak bola gajah yang melibatkan timnas di Piala Tiger 1998. Dalam skandal amat memalukan bangsa itu, Mursyid Effendi sengaja melakukan gol bunuh diri agar timnas kalah dari Thailand demi menghindari tuan rumah Vietnam di semifinal.

Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?


 
Azwar orang baik. Kebaikannya itulah yang dimanfaatkan oleh orang-orang di sekelilingnya yang tidak baik. ‘’Bapak sih terlalu baik,’’ kata saya waktu itu setelah Azwar mengumumkan pengunduran diri. ‘’Ah, kamu bisa aja,’’ jawabnya sembari tersenyum.
Jauh sebelumnya, beberapa ketua umum PSSI juga mengundurkan diri. Ada Bardosono, ada Ali Sadikin, ada pula Sjarnoebi Said. Mereka tak menuntaskan masa jabatan dengan beragam alasan. Pada 1980, Bang Ali mundur karena merasa gagal memimpin PSSI. Sjarnoebi yang mengambil tanggung jawab Bang Ali juga lengser karena timnas gagal di SEA Games XII Singapura 1983.
 
Di mancanegara, mundur sebagai wujud pertanggungjawaban juga banyak dilakukan oleh ketua asosiasi sepak bola. Sebut saja Tunku Ismail Sultan Ibrahim yang menanggalkan posisi Presiden Asosiasi Sepak Bola Malaysia pada Maret 2018 karena Malaysia anjlok ke peringkat 178 FIFA.
 
Ada pula Musa Bility yang pada waktu beriringan menanggalkan jabatan Ketua Umum Asosiasi Sepak Bola Liberia. Tidak ada skandal. Prestasi sepak bola negaranya juga tak buruk. Dia memilih mundur karena sudah dua periode menjabat. Dia ingin memberikan teladan bahwa tidak perlu tiga atau empat periode, juga tak perlu tambahan masa jabatan.
 
Kata para bijak, mundur ialah bentuk pertanggungjawaban mulia atas sebuah kegagalan. Di sepak bola, kemuliaan itu telah mereka tunjukkan.
 
Akan tetapi, tak semua menjadikan kemuliaan sebagai keutamaan. Nurdin Halid, misalnya, ogah mundur meski terlibat kasus korupsi. Dia bahkan memimpin rapat PSSI di penjara.
 
Kini, kemuliaan itu diuji dalam diri Mochamad Iriawan alias Iwan Bule. Tragedi Kanjuruhan yang merenggut sedikitnya 131 nyawa Aremania ialah duka tiada tara. Tragedi tak terperi. Investigasi sedang dilakukan oleh beberapa institusi. Biarkan mereka bekerja untuk mengungkap apa yang keliru, siapa yang salah, siapa yang harus bertanggung jawab.

Akan tetapi, elok nian jika ada yang berjiwa kesatria. Iwan Bule, misalnya. Tragedi Kanjuruhan bisa jadi akibat kesalahan panpel, bisa pula kesalahan aparat keamanan, tapi tanggung jawab moral juga ada di pundak Ketua Umum PSSI.
 
Panpel pertandingan Arema kontra Persebaya pada 1 November 2022 berada di bawah otoritas PT Liga Indonesia Baru. PT LIB ada di bawah PSSI. PSSI berada di bawah kepemimpinan Iwan Bule. Jadi, Iwan Bule ikut bertanggung jawab. Tentu, yang lain pantang lepas tangan. Petinggi PT LIB, umpamanya. Pejabat-pejabat kepolisian terkait, amsalnya.
 
Itulah yang dikehendaki masyarakat sepak bola nasional. Kemarin sore, petisi di change.org perihal desakan ketua umum dan pengurus PSSI mundur telah diteken 11.466 dari 15.000 yang dibutuhkan. Di Twitter, tagar #IwanBuleOut menjadi trending topic. Ribuan cuitan disuarakan warganet. Mereka mendesak Iwan Bule meninggalkan PSSI sebagai bentuk tanggung jawab dan empati atas Tragedi Kanjuruhan.
 
Apa yang dilakukan publik wajar, sangat wajar. Apa yang terjadi di Kanjuruhan sulit untuk dimaafkan. Buruknya prestasi atau pengaturan skor memang menyesakkan, tapi kiranya tak sebanding dengan pertandingan bertumbal nyawa. Terlebih, ratusan suporter meninggal dunia.
 
Kalau prestasi buruk atau skandal suap saja sudah cukup bagi ketua umum PSSI mundur, haruskah Iwan Bule bergeming meski sepak bola bersimbah darah? Sayangnya, hingga detik ini dia masih kukuh bertahan. Kata dia, “Bentuk tanggung jawab saya ialah menemui korban, melihat langsung, mengevaluasi, dan memberikan santunan kepada korban.’’ Dia menolak mundur.
 
Menjadi ketua umum PSSI memang enak sehingga sayang untuk dilepaskan. Ia bisa mendapatkan puji sanjung ketika tim PSSI menorehkan prestasi. Ia bisa naik podium dan mengangkat trofi ketika tim menjadi kampiun kendati tempat itu bukan miliknya. Ia juga bisa terus memopulerkan diri jika ingin berkompetisi di pilkada.
 
Namun, kiranya kemuliaan jauh lebih berarti. Mundur sebagai pertanggungjawaban moral atas Tragedi Kanjuruhan ialah kemuliaan itu. Tidak cuma Iwan Bule, para pengurus yang sudah puluhan tahun bercokol di PSSI, tapi tetap nirprestasi juga mesti mengundurkan diri. Itu kalau mereka punya kebesaran hati.
 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *