Polemik Organisasi Bayangan Menteri Nadiem Makarim Bergulir

Suara.com – Meski Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Nadiem Anwar Makarim, sudah mengaku salah menggunakan istilah shadow organization dalam pertemuan di Markas PBB, Amerika Serikat, polemik mengenai organisasi itu terus bergulir. Pertanyaan pun timbul, bagaimana hal itu bisa diaudit oleh publik?

Menteri Nadiem menyatakan ‘shadow organization’ yang dia maksud adalah organisasi ‘mirroring‘ terhadap Kemendikbud-Ristek. Dia menyebut 400 orang yang tergabung dalam organisasi tersebut merupakan “mitra” yang telah menciptakan platform pembelajaran untuk membuka akses pengembangan diri guru secara lebih mandiri dan sesuai kondisi.

Di sisi lain, tak semua guru bisa optimal memanfaatkan platform-platform tersebut karena minimnya perangkat teknologi dan jaringan internet di daerahnya.

Berikut hal-hal yang sejauh ini diketahui mengenai polemik tim bayangan Menteri Nadiem Makarim.

Baca Juga:
Tim Bayangan Menteri Mas Nadiem Dirujak DPR: Apa Energi Positifnya Tim Bayangan Anda untuk Indonesia?

Baca Juga:

Apa itu ‘organisasi bayangan‘ Menteri Nadiem Makarim?

Nadiem Makarim mencetuskan istilah tim “Shadow Organization” atau organisasi bayangan di lingkungan kementeriannya saat berbicara dalam forum PBB bertajuk Transforming Education Summit di New York, pertengahan bulan ini.

“Kami sekarang memiliki 400 orang product manager, software engineer, dan data scientist yang bekerja sebagai organisasi bayangan yang bekerja sebagai tim yang melekat untuk Kementerian.”

“Tim yang beranggotakan 400 orang bukanlah vendor untuk kementerian. Setiap product manager dan ketua tim posisinya hampir setara dengan direktur jenderal yang beberapa di antaranya hadir di sini,” kata Nadiem yang juga diunggah dalam akun Instagram pribadinya.

https://www.instagram.com/p/CitxcLQh87c/

Baca Juga:
Anggota DPR RI Komisi X Semprot Nadiem Makarim Soal Gaji PPPK: Banyak Guru yang Menangis, Kami Makan Apa?

Tapi belakangan ia meralat pernyataan itu di tengah kritik bahwa keberadaan tim ini berpotensi melanggar aturan perundang-undangan karena perannya setara dengan direktur jenderal, termasuk mengabaikan kemampuan di lembaganya sendiri.

Dalam rapat dengan Komisi X DPR, Nadiem mengatakan, “ada sedikit kesalahan saya dalam menggunakan kata ‘shadow organization'”.

“Yang saya maksudkan, organisasi ini adalah mirroring terhadap kementerian kami,” kata Menteri Nadiem, Senin (26/09).

Nadiem mengatakan, mirroring yang dimaksud adalah setiap direktur jenderal yang menyediakan layanan dapat menggunakan tim khusus tersebut.

“Tim permanen yang selalu bekerja sama dengan tim itu untuk mendorong, dan mengimplementasi kebijakannya melalui platform teknologi,” katanya.

Siapa di balik organisasi bentukan Menteri Nadiem?

“Mereka adalah vendor,” kata Menteri Nadiem. Vendor ini bernama GovTech Edu yang berada di bawah anak perusahaan PT Telkom.

“Banyak anak-anak muda mau bergabung ke dalam tim GovTech Edu tersebut untuk membangun produk-produk ini,” ia menambahkan.

Layanan jasa pengembang perangkat lunak yang berdiri sejak 2020 bekerja sama langsung dengan Kemendikbud-Ristek. Sampai 2022, mereka telah merilis lima produk untuk membantu sistem pendidikan yaitu Merdeka Mengajar, ARKAS, SIPLah, Kampus Merdeka, Rapor Pendidikan dan Belajar.id.

Mereka yang tergabung dalam GovTech Edu merupakan kalangan profesional dengan pelbagai latar belakang seperti pengembang perangkat lunak, analis data, peneliti, psikolog, ilustrator, perancang web dan lain-lain. Kebanyakan berasal dari start-up teknologi seperti Gojek, Grab, Bukalapak, Traveloka, Zalora, dan OVO.

Direktur Digital Bisnis Telkom, Fajrin Rasyid, mengatakan GovTech Edu telah berkali-kali memenangkan tender di Kemendikbud-Ristek.

“Hal ini Telkom lakukan dalam peranan sebagai penyedia terhadap pekerjaan pengembangan layanan platform digital pendidikan, yang tentunya telah melalui mekanisme pengadaan barang dan jasa pemerintah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku,” katanya seperti dikutip dari Fortune Indonesia.

Anggaran yang dilokasikan Komisi X DPR untuk pengembangan platform sistem pendidikan di Kemendikbud-Ristek ini mencapai Rp430 miliar.

Seperti apa klaim keberhasilan organisasi ini?

Menteri Nadiem Makarim mengatakan lebih dari 1,6 juta guru telah menggunakan Platform Merdeka Mengajar. Kemudian, terbentuknya lebih dari 3.500 komunitas belajar para guru, terkumpulnya lebih dari 55.000 konten belajar mandiri.

“Ada lebih dari 92.000 konten pembelajaran telah diunggah oleh guru untuk menginspirasi sejawatnya. Jadi, para guru dibantu untuk bisa saling menginspirasi dan mengapresiasi,” katanya.

Selain itu, lebih dari 141.000 sekolah telah terbantu dalam mengetahui kondisi literasi, numerasi, karakter siswa, serta kualitas pembelajaran mereka melalui aplikasi Rapor Pendidikan, pengembangan diri 724.000 mahasiswa melalui program Kampus Merdeka, bergabungnya lebih dari 2.700 mitra industri ke dalam Kampus Merdeka, bergabungnya lebih dari 43.000 praktisi ke dalam program Praktisi Mengajar.

“Serta, lebih dari Rp51 triliun potensi anggaran fungsi pendidikan tahun anggaran 2022 dikelola secara lebih transparan dan akuntabel transparan dengan dukungan platform seperti ARKAS, SIPLah, dan TanyaBOS,” terang Nadiem.

Bagaimana penerapannya di lapangan?

Tak semua guru atau kepala sekolah bisa mengakses platform yang disediakan oleh Kemendikbud-Ristek ini karena keterbatasan perangkat dan jaringan internet.

Sebagai gambaran, Kementerian Komunikasi dan Informatika mencatat setidaknya 15.000 desa dan kelurahan di Indonesia pada 2020, memiliki jaringan internet yang buruk, atau sama sekali tidak terkoneksi.

Hal ini yang dirasakan oleh Nur – bukan nama sebenarnya – seorang kepala sekolah di salah satu SD yang berbatasan dengan Malaysia, di Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat.

Nur menggunakan platform Merdeka Mengajar, akan tetapi menurutnya tidak efektif.

Ndak efektif lah, di sini kan, sinyalnya kadang-kadang pada lancar, kadang ndak. Alat kami kurang. Laptop ada, kurang. Apa lagi yang lain-lain. Miris di SD kampung ini,” katanya kepada BBC News Indonesia pada Selasa (27/09).

Saat ini di sekolahnya, Nur terpaksa melakukan kegiatan mengajar tiga kelas di alun-alun dengan atap terpal karena kekurangan kelas. Padahal setiap tahun, pihaknya sudah mengajukan proposal untuk pembangunan ruang kelas.

“Mungkin tidak masuk skala prioritas, karena ada sekolah-sekolah lain yang lebih parah,” katanya.

Mengapa Menteri Nadiem dikritik?

Bagaimana pun, Direktur Direktorat Pendidikan Vox Populi Institute Indonesia, Indra Charismiadji menilai tugas menteri pendidikan lebih luas daripada membangun aplikasi.

Kata dia, tidak semua daerah memiliki kemampuan teknologi dan jaringan internet yang sama dalam mendapatkan layanan aplikasi pemerintah ini.

“Tugas dia, bukan membangun aplikasi. Tugas dia membangun manusia kan. Membangun SDM. Jadi, kalau dia membangga-banggakan aplikasi yang dibuat, jadi sebetulnya dia disorientasi. Itu yang sebetulnya, dia mengundurkan diri, atau pak Presiden mengganti,” katanya.

Selain itu, lanjut Indra, sistem teknologi yang dibangun juga tidak bisa merata di seluruh Indonesia.

“Indonesia itu nggak semuanya Jakarta. Indonesia itu 17.000 pulau, dan semuanya anak Indonesia, dan sekolah Indonesia yang semestinya mendapatkan layanan yang sama,” lanjut Indra.

Baca Juga:

Selain itu, Indra juga menuduh Menteri Nadiem tidak jujur dalam menyampaikan keterangan di forum PBB, tercermin dari pernyataan yang diralat. Dalam forum PBB Menteri Nadiem mengatakan tim bayangan bukan vendor, tapi di depan Komisi X DPR ia menyebutnya vendor.

“Bagaimana seorang menteri pendidikan yang punya tugas untuk mendidik anak-anak kita, generasi penerus bangsa untuk punya integritas, untuk berakhlak, punya karakter? Salah satu karakter ini adalah jujur, diberikan contoh untuk ngibul di dunia internasional, hanya untuk dapat tepuk tangan,” kata Indra.

Pengamat pendidikan, Mohammad Abduhzen, bertanya-tanya mengenai transparansi tim platform Kemendikbud-Ristek ini.

“Kapasitasnya kita tidak tahu, siapa itu orangnya, apa itu kepentingannya,” katanya.

Ia juga bertanya tentang bagaimana cara publik melakukan audit serta meminta pertanggungjawaban atas kinerja tim ini.

Secara umum, Abduhzen menilai kementerian di bawah kepemimpinan Nadiem Makarim kerap menuai polemik di masyarakat terkait dengan transparansi, termasuk tim ini. Contoh sebelumnya terdapat kontroversi Peta Jalan Pendidikan 2035 dan RUU Sisdiknas.

“Jadi menurut saya ini satu model manajemen publik, manajemen pemerintah, yang dikekola secara bisnis atau manajemen perusahaan. Cukup tergantung pada CEO-nya,” kata Abduhzen.

Mengapa BPK turun tangan?

Anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Achsanul Qosasi, angkat bicara tentang polemik organisasi bayangan di Kemendikbud-Ristek.

Melalui Twitter, Achsanul mengatakan BPK sedang memeriksa Kemendikbud-Ristek yang menunjuk konsultan GovTech Edu dari Telkom.

https://twitter.com/AchsanulQosasi/status/1573617277114556417?cxt=HHwWgoCl7e-kztYrAAAA

Jika tim ini berperan setingkat dirjen, maka menyalahi susunan organisasi tata kerja (STOK) dan Undang Undang ASN, katanya.

“Atau mungkin Pak Menteri “salah statement”, saking bangganya sama Govtech-Edu,” katanya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *